Rabu, 16 November 2011

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat


“Memang tuna rungu bisa berkomunikasi?”

Komentar ini sangat mengejutkan bagi saya karena diucapkan oleh seorang jurnalis yang mewawancarai saya saat melamar kerja beberapa waktu lalu. Beliau mempertanyakan skripsi saya yang mengangkat komunikasi tuna rungu di media sosial.

Ternyata, orang intelek dan berkecimpung di dunia komunikasi pun, masih menganggap bahasa oral adalah satu-satunya cara berkomunikasi. Padahal, kita mengenal tanda, lambang, gesture, dan lain sebagainya.

Beliau bukan satu-satunya orang yang mempertanyakan skripsi saya. Karena sebelumnya, seorang dosen juga bertanya apakah saya bisa berkomunikasi dengan tuna rungu, jika saya mengangkat komunitas mereka sebagai skripsi saya terkait dengan penggunaan media sosial.

Sebelum saya mengangkat skripsi tersebut, saya sempat bertanya kepada teman-teman. Apa yang ada pertama terlintas dipikiran mereka saat saya menyebut “tuna rungu.” Tanpa ragu, mereka menjawab tuna rungu sebagai “orang cacat.”

Adik saya sendiri adalah mahasiswa kesejahteraan sosial. Dia pun menjawab “cacat” saat saya menanyakan apa yang dia ketahui tentang tuna rungu. Padahal kelompok ini menurut adik saya, merupakan salah satu kajian dari perkuliahan kesejahteraan sosial.

Lalu, bagaimana dengan saya sendiri? Wah, ya sama saja awalnya. Saya menganggap orang dengan kemampuan berbeda seperti teman-teman tuna rungu adalah penyandang cacat. Seperti yang saya baca di buku-buku dan yang diajarkan di sekolah dulu. Tuna rungu, tuna grahita, tuna netra adalah penyandang cacat bagi saya.

Sampai tiba-tiba secara tidak sengaja saya dipertemukan dengan tema tuna rungu sebagai skripsi saya. Ya, skripsi saya ibarat jalan Tuhan yang membuka mata saya mengenai komunitas orang-orang yang ternyata sangat luar biasa di mata saya.

Pertemuan Dengan Tuna Rungu        

Suatu hari, saya mencari tema yang berhubungan dengan media sosial dan Facebook. Tanpa sengaja, saya masuk ke forum Kaskus di mana ada sebuah thread yang menyerukan para Kaskuser untuk berteman dengan teman-teman yang memiliki nama belakang Deaf and Dumb. Deaf atau orang-orang yang mengalami kesulitan pendengaran banyak menjadi anggota Facebook dan bersedia untuk berteman dengan siapa saja. Saya pun mengajak mereka berteman dan mengobrol. Satu-per satu teman-teman deaf di facebook saya bertambah dan saya terhubung dengan mereka yang aktif di organisasi tuna rungu.

Saya berkenalan dengan mereka selama beberapa bulan hingga akhirnya memutuskan mengangkat penggunaan media sosial oleh tuna rungu. Di sinilah saya terbuka mengenai komunitas difabel tersebut. Melalui Facebook, saya berkomunikasi dengan lancar hingga akhirnya bertatap muka dan menjalin hubungan baik hingga sekarang.

Dari berbagai obrolan dengan teman-teman deaf, saya mendapat banyak pelajaran berharga mengenai perjuangan hidup dan bagaimana mereka bertahan ditengah-tengah masyarakat yang masih memandang negatif dan membedakan mereka. Pertemanan di dunia maya tersebut, berubah menjadi pertemanan di dunia nyata. Dan kini, saya menganggap mereka sama saja dengan saya dan masyarakat pada umumnya.

Cacat, tidak normal, butuh pertolongan, anggapan ini yang ada di masyarakat mengenai komunitas difabel. Bahkan, seorang teman deaf (saya memilih menyebut teman-teman tuna rungu dengan sebutan deaf) pernah berujar pada saya. “Apa itu tuna rungu? Ikan tuna? Tuna susila? Negatif banget kan konotasinya?”  Komentarnya membuat saya tersadar dan bertanya dengan polosnya, “Lalu saya harus menyebut apa?”

Teman ini menjawab bahwa saya harus membaca dan mencari tahu lebih dalam mengenai komunitas mereka, serta terjun langsung bersama-sama dengan komunitas difabel ini dan saya akan menemukan jawabannya.

Bagi saya pribadi, jawaban yang saya temukan adalah perubahan mindset. Ternyata mereka bukan cacat, mereka bukan tidak mampu. Mereka memang mempunyai perbedaan dalam pendengaran. Tetapi secara intelejensia, mereka sama halnya dengan saya dan masyarakat lainnya. Bahkan usaha dan motivasi mereka dalam menjalankan suatu kegiatan, saya akui, jauh melebihi saya dan masyarakat pada umumnya.

Jika ada yang menyebut mereka tidak normal, lalu apa itu normal? Siapa yang normal? Apakah tidak normal adalah sebutan untuk kelompok minoritas? Lalu bagaimana jika saya berada sendirian diperkumpulan deaf? Sayalah minoritas. Maka sayalah yang tidak normal bukan?

Pemikiran tersebut membawa saya untuk memanggil komunitas mereka dengan sebutan deaf. Mungkin penggunaan istilah ini terkesan eufemisme atau penghalusan. Tapi percayalah, penyebutan ini saya gunakan setelah saya berteman baik dengan mereka dan lebih memahami mereka.

Perdebatan Istilah

Perdebatan istilah penyebutan mereka dengan kemampuan berbeda sudah lama muncul. Kini, istilah penyandang cacat sedang diperjuangkan untuk tidak lagi. Cacat dalam kamus bahasa Indonesia memiliki beberapa arti di antaranya kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna, cela, aib. Wow, pantaskah istilah ini diberikan pada mereka? Tentu tidak.

Bahrul Fuad, seorang aktivis kelompok difabel melalui tulisannya dalam Jurnal Perempuan 65, Mencari Ruang Untuk Difabel menyebutkan bahwa sejak tahun 1998 diperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat, yakni difabel. Difabel ini merupakan singkatan dari bahasa Inggris Different Ability People yang berarti orang yang berbeda kemampuan (2010: 21). 

Bahrul Fuad dalam buku tersebut juga menyatakan bahwa istilah tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan pengaruh psikologis yang cukup signifikan bukan hanya terhadap penyandang istilah tersebut namun juga terhadap sikap dan perilaku masyarakat.

Akan tetapi, saya tidak setuju dengan Bahrul Fuad yang menyatakan istilah tersebut hanya penghalusan dan tidak memberikan perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Menurut saya, istilah merupakan bagian dari bahasa. Dan bahasa adalah alat yang paling berbahaya untuk mempengaruhi seseorang. Yes, languange is the most dangerous weapon. Oleh karena itu, tidak peduli apakah istilah difabel adalah eufimisme, namun tujuan penggunaan istilah difabel adalah mengubah pola pikir masyarakat agart tidak memandang orang-orang dengan kemampuan berbeda tersebut sebagai orang cacat dan tidak normal seperti yang diajarkan semasa saya sekolah dulu. Perubahan mindset ini bisa diawali dengan perubahan bahasa.

Dampak Pandangan Masyarakat yang Salah

Pandangan masyarakat yang selama ini salah mengenai difabel menimbulkan banyak kesulitan bagi mereka. Mereka menjadi dibedakan dan tidak diberikan tempat, karena dianggap tidak mampu bekerja seperti masyarakat pada umumnya.

Mereka kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat, kesulitan mencari pekerjaan, dan bahkan seringkali dipandang aneh di tempat-tempat umum. Pada akhirnya mereka terkucilkan dari pergaulan. Hidup mereka yang pun menjadi semakin berat.

Seorang teman deaf peraih beasiswa pernah berujar kepada saya, bahwa test TOEFL yang mengharuskan adanya listening mempersulit dirinya untuk mendapat beasiswa. Padahal ia mampu dan fasih berbicara dengan bahasa Inggris. Ia hampir gagal mendapatkan beasiswa, jika tidak karena usahanya yang luar biasa untuk meyakinkan para pemberi beasiswa. Test TOEFL sebagai salah satu syarat mendapatkan pendidikan layak ternyata menjadi diskriminasi.


Teman-teman difabel yang lain juga kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tidak jarang kita melihat persyaratan wajib sehat jasmani di lowongan-lowongan pekerjaan. Persyaratan itu, otomatis langsung mengeliminasi mereka. Oleh sebab itu dengan intelejensia yang mereka miliki, dan usaha keras, mereka mulai menekuni bidang-bidang yang memungkinkan terbukanya lapangan kerja wiraswasta seperti seni kerjainan tangan, desain, menulis.  Hasilnya, mereka dapat berkreasi layaknya masyarakat pada umumnya. Inilah bukti bahwa mereka tidak berbeda dengan kita. Beberapa teman deaf yang saya kenal menekuni usaha maklon, souvenir, pembuatan pernak-pernik dan perhiasan, serta menulis dan membuat buku.

Salahnya Karena Tidak Tahu

Pandangan masyarakat yang berdampak buruk bagi difabel sebenarnya bukan semata salah masyarakat itu sendiri. Saya adalah contoh yang paling mudah. Saya beranggapan salah karena saya tidak tahu. Ya, tidak tahu adalah awal dari kesalahan pandangan masyarakat akan kelompok difabel. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengangkat isu-isu difabel ke dalam masyarakat agar masyarakat mengetahui bagaimana sebenarnya para difabel.

Sayangnya, tidak banyak isu-isu mengenai difabel yang diangkat di media massa. Padahal, setiap hari kita dijejali media massa dengan berbagai isu politik yang memusingkan kepala dan banyak yang tidak ada gunanya. Mengapa tidak mengangkat isu difabel lebih besar? Ah, tanyalah kepada rating, agenda media, kepentingan, dan segala sesuatu yang berbau kekuasaan.

Nah, jika media massa sulit diharapkan, maka kemunculan media baru seharusnya menjadi angin segar untuk mengangkat isu-isu mengenai difabel. Ketika internet menjamur dan konsumsi media sosial sangat tinggi, maka media sosial bisa menjadi sarana tepat untuk menyampaikan isu-isu difabel kepada masyarakat. Mengapa? Tentu saja karena internet, media baru atau apapun itu sebutannya membuat pada difabel memiliki kesetaraan dengan orang lain pada umumnya.

Dalam skripsi saya hasil yang saya temukan adalah bahwa teman-teman deaf lebih senang menggunakan media sosial untuk berinteraksi, karena mereka merasa sama dengan orang lainnya. Mereka tidak dibedakan dan dapat berhubungan tanpa harus ada kendala suara. Orang lain pun menerima mereka dengan baik di media sosial. Artinya, saya dan masyarakat pada umumnya dapat menjalin hubungan baik dengan difabel dengan perantara media sosial, untuk meningkatkan kemelekan terhadap isu-isu disabilitas.

Kartunet sebuah situs yang dibuat oleh teman-teman tuna netra membuat terobosan untuk mengedepankan isu-isu difabel di sosial media. Kartunet adalah singkatan dari Karya Tuna Netra, mempunyai visi dan misi mengembangkan potensi para difabel, memberikan tempat untuk berkarya serta membuka kerja sama dengan berbagai pihak untuk memajukan penyandang disabilitas.

Situs seperti Kartunet.com sangat jarang di Indonesia. Oleh karena itu diharpakan Kartunet dapat menjadi media informasi terdepan bagi para difabel untuk berkreasi dan berkumpul, namun juga merangkul masyarakat umum. Mudah-mudahan Kartunet dapat menjadi jembatan antara para difabel dengan masyarakat agar gap atau jarak yang tercipta selama ini karena adanya “ketidaktahuan” dapat diperkecil. Sehingga antara difabel dan masyarakat dapat terjalin kerjasama yang baik dalam berbagai bidang seperti pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya.

Pengetahuan yang diberikan kepada masyarakat luas melalui Kartunet nantinya pelan-pelan dapat mengubah pandangan masyarakat mengenai komunitas difabel. Jika pandangan saya bisa berubah maka pandangan praktisi, akademisi, bahkan masyarakat umum juga bisa berubah. Syaratanya, mereka tahu dan mereka paham. Kartunet dapat menjadi media difabel untuk memberi tahu dan memberi pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat.
           

Minggu, 06 November 2011

Minum Air Hujan di Pulau Damar

"Maaf ya, cuma tadahan air hujan ini yang bisa saya suguhkan," katanya seraya tersenyum saat menjamu kami.

Sejujurnya, kami belum pernah sekalipun sengaja meminum air hujan. Namun, dahaga yang kami rasakan waktu  itu membuat air hujan menjadi pilihan terbaik daripada meminum air laut. Rasa air hujan ternyata asam dan terasa aneh di lidah. Bau yang tidak dapat kami jelaskan, membuat air hujan tadahan ini makin terasa tidak enak.

"Tiap hari minumnya ginian, Pak?" Tanya kami. "Ya iya. Mau minum apa lagi. Di sini adanya kalau nggak air payau, air laut, ya air hujan. Kalian mau pilih yang mana?" Ujarnya sambil tertawa. Intan Suratno sepertinya amat sangat terbiasa meminum tadahan air hujan setiap hari, selama dua tahun bertugas sebagai penjaga mercusuar, di Pulau Damar atau Pulau Edam, Kepulauan Seribu. Air mineral yang layak minum hanya diterimanya setiap 5 bulan sekali. Itupun hanya 3 kardus air mineral dalam gelas. Sementara bahan panganan lainnya seperti minyak goreng, gula, sirup, kopi, teh, hanya dikirim 3 bulan sekali. Untuk kehidupan sehari-hari, Suratno memesan bahan makanan kepada para nelayan, yang harganya cukup mahal.

Suratno mengaku tidak mempermasalahkan hal ini karena ia sudah lebih dari 30 tahun bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Ditjen Perhubungan Laut dan ditempatkan di pelosok-pelosok tanah air. "Sebenernya sih saya bukan sekali ini saja ditugaskan di Pulau Damar. Dulu sekali pernah, waktu saya masih muda. Terus saya dipindah ke sana ke mari. Dari ujung gunung sampe ujung mercusuar saya pernah," ceritanya bangga,

Pulau Damar bukan pulau berpenduduk. Hanya ada beberapa orang yang tinggal di sana yang merupakan pegawai pemerintah, termasuk Suratno. Suratno adalah orang yang bertanggung jawab atas mercusuar. Setiap hari, Suratno bertugas memastikan lampu mercusuar tetap menyala. 

Lampu mercusuar bisa otomatis menyala menggunakan tenaga surya. Akan tetapi, apabila sedang mengalami kerusakan maka lampu mercusuar harus dinyalakan menggunakan pembangkit tenaga listrik. Untuk menyalakan lampu mercusuar secara manual, maka Suratno harus naik ke atas mercusuar yang berketinggian 17 lantai atau 56 meter.

"Haduh, nafas saya udah abis. Dulu sih ada itu anak-anak mudanya. Tapi kalau disuruh nyalain ke atas, nggak dikerjain. Akhirnya ya saya naik sendiri," cerita Suratno yang kini berusia 57 tahun. Menurut Suratno, kondisi Pulau Damar yang jauh dari mana-mana, sepi, dan serba keterbatasan untuk hidup membuat para pekerja muda banyak yang pergi. "Wah, akhirnya satu-satu pada kabur. Pada nggak kuat," lanjutnya.

Menurut Suratno, setahun sekali Pulau Damar menjadi pulau yang ramai ketika dikunjungi oleh ratusan calon pendeta. Para pendeta ini diharuskan naik ke atas menara mercusuar dan turun menggunakan tali. "Kaya mau disahkan jadi pendeta begitu. Terus harus uji nyali," ujarnya. Sementara hari-hari biasa, Pulau Damar sangat sepi. Terkadang ada nelayan atau turis, atau bahkan ada orang-orang yang datang untuk berdoa di makam yang ada di belakang rumah dinas Suratno. "Kalau lagi nggak rame ya kesepian. Sendirian sih udah biasa. Saya sih nggak takut sendirian di sini. Udah biasa," katanya.

Saat kami berkunjung ke Pulau Damar, hanya ada beberapa orang nelayan yang kami jumpai dan anjing liar yang sesekali menggonggong memecah suara hembusan angin serta gulungan ombak di tepi pantai. Suratno tampak senang ketika kami datang membawa suara berbeda di Pulau Damar yang sepi. "Tahun depan saya nyusul kalian ya. Saya mau tinggal sama istri saya di Jakarta soalnya saya pensiun," ceritanya bahagia.

Segala keterbatasan yang dialami Intan Suratno dalam menjalankan tugasnya, membuat kami membuka mata bahwa ternyata ada pegawai negeri sipil yang patut dihargai. Pengabdian pegawai negeri sipil macam Suratno seperti inilah yang seharusnya menjadi cermin para pegawai negeri sipil lainnya.

Sabtu, 10 September 2011

Mudik Pasca Bencana Merapi

Lebaran kemarin, seperti lebaran-lebaran sebelumnya saya dan keluarga pulang ke kampung halaman Magelang tercinta. Sebenarnya, Magelang menjadi kampung halaman sejak eyang putri yang merupakan purnawirawan ABRI, mendapat jatah rumah di perumahan Koda Jaya, setelah eyang kakung meninggal tahun 1991 silam.

Selain itu, dua adik orang tua saya tinggal tidak jauh dari rumah eyang. Jadilah semenjak tahun 90an awal, Magelang menjadi kampung halaman.

Mudik tahun ini terasa berbeda, karena 4 keluarga bisa pulang bersama-sama menyewa sebuah mobil elf yang memuat 15 orang. Ternyata menyenangkan pulang kampung beramai-ramai. Rasa lelahnya tidak sebanding dengan keramaian dan suka citanya di jalan.

Lebaran tahun ini juga terasa aneh. Apalagi kalau bukan karena persiapan lebaran yang terpaksa mundur karena pemerintah memutuskan lebaran pada tanggal 31 Agustus. Alhasil, tanggal 30 yang sudah kami persiapkan untuk berhalal-bihala menjadi tanggal yang kosong dari aktivitas. Maklum, opor ayam dan kawan-kawannya telah dipersiapkan sehari sebelumnya.

Jadilah kami memutuskan untuk berjalan-jalan ke Jogjakarta. Saya, adik, dan seorang sepupu yang sudah dewasa merasa bosan saat "ibu-ibu" memutuskan ingin pergi berbelanja ke Malioboro. Saya sudah berpikir bahwa tidak akan banyak toko yang buka karena hari itu masih dalam persiapan slebaran. Tidak ada hal yang menarik di sana. Pedagang kaki lima memang banyak yang buka. Sebagian besar toko tutup, dan Pasar Bringharjo pun hanya diisi 5% pedagang.

Alhasil, sebagian dari kami yang masih berpuasa hanya mendapat lelah di jalan. Sebagian lagi yang memutuskan tidak ingin berpuasa, bisa dengan leluasa menyantap makanan. Untungnya iman kami kuat hahahaha. Jadi, kami tidak terpancing sedikitpun untuk membatalkan puasa kami.

Akan tetapi, yang menarik justru dalam perjalanan pulang. Ketika kami memutuskan memberhentikan mobil di kawasan Kali Putih. Kawasan, yang saat bencana Merapi, hancur lebur akibat lahar dingin.


Kali Putih Pasca Bencana

Bencana bagi masyarakat sekitar Merapi sangat menyedihkan. Kita bahkan bisa menyaksikan langsung saat melewati Jalan Raya Magelang-Jogja. Bangunan di kanan kiri jalan habis diterjang lahar dingin.

Bangunan yang tinggal tiang-tiangnya juga hanya dibiarkan saja. Seolah menjadi saksi bisu bencana maha dahsyat, akhir tahun silam.




Pepohonan di kanan kirinya hanya sedikit yang tersisa, dengan batang dan daun menunduk lesu seakan turut pilu merasakan penderitaan orang-orang yang terkena bencana.

Abu, pasir, dan lahar dingin mengeras membentuk gundukan dengan tinggi melebihi rumah-rumah. Sementara Kali Putih lenyap tak berbekas.




Kawasan ini ternyata kini seperti menjadi objek wisata bagi orang-orang yang datang dari luar kota. Tidak hanya saya dan keluarga, banyak mobil-mobil pribadi berplat B, H, D, R, dan lain-lainnya, berhenti dipinggir jalan untuk sekedar menyaksikan, atau mengabadikan sebuah kenangan.

Bahkan beberapa bus wisata yang mengangkut rombongan juga turut menjadikan kawasan Kali Putih sebagai destinasi perjalanan mereka.


Hari itu, senja yang berbekas bagi saya. Menyaksikan sisa bencana yang masih akan terus menjadi penderitaan hingga bertahun-tahun ke depan bagi yang mengalaminya. Semoga mereka yang terkena bencana Merapi bisa cepat pulih dan membangun hidupnya kembali berdampingan damai dengan Merapi.


Sabtu, 13 Agustus 2011

Tatih Kakek Penjual Tissue

Pernah memperhatikan cara pinguin berjalan? Begitulah gambaran cara seorang kakek tua yang sedang berjalan di stasiun kereta Bojong Gede, Bogor. Dengan susah payah ia mencoba menggerakan kedua kakiknya. Baru 2 meter berjalan, langkahnya terhenti. Ia mencoba menghela nafas, sambil berpegangan ke tiang-tiang penyangga stasiun kereta.

Tatih langkah si kakek tidak membuatnya lelah untuk terus berjalan menjanjakan dagangannya. Satu kantong plastik tissue ia tawarkan kepada para penunggu kerera. 

"Berapa Ki?" Ujar saya. 
"Dua ribu rupiah," jawabnya lirih. 

Di tangan kanannya tergantung kantung jualan. Sementara tangan kirinya yang kaku, dengan kesulitan, mencoba merogoh sebuah tissue hingga akhirnya ia memandang wajah saya. Saya pun paham, dan langsung mengambil sendiri tissue tersebut.

Dengan perasaan iba, saya memberanikan diri untuk bertanya,
"Aki kenapa?"

"Setruk," jawabnya terbata-bata.

"Lho, kok masih kerja? Emang anak-anaknya kemana?" Lanjut saya.
"Kalo nggak kerja mau makan apa. Anak saya masih kecil," terangnya. Dia lalu menegaskan bahwa meskipun keadaan fisiknya sulit, tapi dia tetap bersemangat bekerja untuk menghidupi istri dan anaknya tanpa mau membebani orang lain dan meminta-minta.

"Saya mah nggak mau ngemis. Dosa. Masih hidup gini musti usaha," ucapnya sambil tersenyum. 

Kakek yang tinggal di belakang stasiun Bojong Gede itu kembali berjalan. Menapakkan kaki dengan usahanya yang maksimal. Keadaan fisiknya yang tidak lagi mendukung tidak dijadikan penghalang untuk berjuang mencari sesuap nasi. 
                                                              
                                                                                *****
Lain lagi dengan penjual tissue di stasiun UI. Para mahasiswa UI yang sering melewati stasiun kereta UI pasti pernah melihat kakek ini. Sebelas tahun berlalu, dia tetap menjajakan tissue dari bangku ke bangku. Wajahnya semakin keriput. Tubuhnya kian kurus. Ditambah lagi, kini ia menggunakan tongkat penyangga untuk membantunya berjalan.

Perlahan ia ayunkan tongkatnya, dengan segenap tenaga yang tersisa. "Tissue neng," ujarnya menawarkan pada para penumpang kereta yang mayoritas mahasiswa. Ia masih seperti dulu, ramah jika diajak berbicara.  Anaknya memang sudah besar, tapi ia sendiri tetap harus bekerja untuk bisa menghidupi dirinya dan istrinya. Karena itulah ia tetap menjajakan tissue, satu-satunya pekerjaan yang bisa ia kerjakan pada usianya yang sudah senja. 

Sambil menunggu kereta, ia bercerita bahwa dagangannya sudah memasuki plasik yang kedua. 
"Wah, laris ya pak?"
"Iya, alhamdulilah," katanya sambil tertawa.
"Selalu habis setiap hari pak?"
"Ya kalau saya lagi kuat jalan, terus rejeki emang ada, jualan habis," jawabnya dengan ramah.
"Pak, nggak ada tissue yang gede?" tanya saya
"Kalau jual yang gede nggak laku neng. Males kali ya gede ditaro tas," ujuarnya.

Setelah perbicangan singkat, sambil dirinya beristirahat, si kakek pamit untuk kembali berjualan.


Dua orang kakek ini menunjukkan betapa sebuah perjuangan berat harus dilakukan untuk bertahan hidup. Semangat untuk berusaha memberi makan keluarganya, mampu menentang halangan yang datang menghadang. Pernah saya menceritakan hal ini pada seorang teman. Dengan nada kritis ia menjawab, "Mungkin dulu mudanya dia nggak bisa menyimpan uang atau berusaha dengan baik. Makanya tuanya susah."

Ah, saya tidak mau berprasangka buruk. Mungkin itu benar, bisa juga salah. Namun, nasib orang tidaklah sama. Siapa yang tahu jika kedua kakek tersebut tidak punya modal pada masa mudanya. Modal pendidikan, seperti yang saya dan teman saya miliki. Bagaimanapun masa mudanya, yang saya lihat adalah bagaimana mereka berjuang tanpa kenal lelah sekarang. Mereka tidak mengemis. Mereka berusaha dengan berjualan. Mereka tidak mengeluh karena keluhan tidak menghasilkan uang. Mereka bertindak meskipun sulit. 

Kita yang masih muda seharusnya bisa lebih berjuang, bersemangat, tidak mengeluh. Kita yang "di atas" seharusnya bisa melihat "ke bawah" agar lebih bersyukur terhadap apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Melihat dua kakek ini hati saya tergerak untuk menatap ke depan, berjalan ke atas sambil melihat ke bawah.

"Mari kita berjuang, Kek!"






My Regrets

Education has always been my passion, since I realize how important education for human life. Yes, I didn't think that education is very important back then, until I've worked for 4 years and felt blunt. Suddenly, I was thirsty to get a knowledge.

Regrets always come late. Why, because if I were think this way 10 years ago, maybe I wouldn't be here. Maybe I already get Master degree and work in middle management of a prestigious company.

But here I am, hobbled in a middle of 20. I am stuck in carrier, and just getting my Bachelor Degree about a month ago. With 4 years of working experience I should get a good career. But, I am not. I really want to get postgraduate schoolarship, but it is just so hard. I don't meet some of the qualification. 


Most of the schoolarships require their applicants to have at least to years work experiences after Bachelor Degree. So, my 4 years experiences is nothing! They require their applicants to have a good in english by showing TOEFL or IELTS score. And I guess, I am bad at it. It was a long ago that I can use english with correct grammar. 


I also wracked in work. I was quit from my last company a year ago. It was a one step back and become my disadvantage for me to come back tin working environtment. Now, it is hard for me to find the perfect job. 


The point is, we have appreciate the education since a young age. Because time can not be repeated. Or, there will be many regrets, just what I feel now. 


But, I still believe that I still have a chance to pursue my dream by working hard and be patient.

Sabtu, 16 Juli 2011

Kesuksesan Ayam Penyet Pandanayu

"Saya kepengen punya warung yang besar mbak. Terus menunya bukan ini aja tapi nambah menu-menu yang lain," ujar Yunus, seorang penjual ayam penyet di dekat rumah kos saya di Mampang Prapatan 6, Jakarta Selatan.

Cita-cita ini terlontar dari pemilik warung kecil berukuran sekitar 3 x 4 meter yang menjual ayam penyet pada tahun 2008 lalu. Saya sering mengobrol dengan Yunus saat makan di warungnya. 

Sejak pertamakali warung ini dibuka, saya langsung menjadi pelanggannya. Meskipun warungnya hanya bisa menampung tidak lebih dari 6-7 orang, namun rasa sambalnya yang berbeda dari ayam penyet lainnya, membuat saya tidak tahan jika sehari tidak makan di sini.

Yunus menamakan warung ayam penyetnya Ayam Penyet Pandanayu. Laki-laki yang saat itu belum genap berusia 24 tahun memberanikan diri menyewa sepetak bangunan di daerah Mampang Prapatan 6, di mana terdapat banyak kos-kosan para pekerja. 

Sebelumnya Yunus sempat berjualan di samping gedung Bulog. Namun karena tempatnya kecil yang hanya muat untuk 2-3 orang, para pembeli jadi sulit untuk duduk dan makan dengan tenang. Yunus pun mencari tempat lain bagi dagangannya.

Menjadi pedagang ayam penyet sudah menjadi impian Yunus sejak dulu. Awalnya, Yunus datang ke Jakarta dan bekerja menjadi Satpam. Namun setelah kontraknya berakhir, Yunus harus memutar otak untuk bisa bertahan hidup di Jakarta. Maka, dengan modal pas-pasan, Yunus berjualan bubur sumsum keliling di pasar-pasar. 

Awalnya, Yunus mengaku sulit menjajakan bubur sumsum dari satu tempat ke tempat lain karena dirinya pendiam dan pemalu. "Sampai ada suatu saat penjual di pasar nanya. Kamu jualan bubur sumsum? Lha, kok nggak bilang. Teriak gitu biar orang tau. Kalau nggak teriak mana orang mau beli," cerita Yunus.

Setelah itu Yunus memberanikan diri untuk berteriak menawarkan bubur sumsum racikannya. Ternyata, bubur sumsum buatannya mendapat tanggapan yang sangat baik dari orang-orang di pasar. "Ya, bubur sumsum saya laris. Sampai kadang balik dua kali bikin bubur," terang Yunus sambil mengingat masa lalunya.

Meskipun laris, Yunus tetap bermimpi untuk bisa berjualan ayam penyet. Karena menurut Yunus, memasak ayak adalah kegiatan favoritnya. Yunus pun sering bereksperimen membuat sambal dengan membaca buku dan memodifikasi resep-resepnya.

Setelah modal yang terkumpul cukup, Yunus membuka warung penyet di samping Gedung Bulog, dan pindah ke Jalan Mampang Prapatan 6. 

Dalam kurun waktu satu tahun, Yunus sudah bisa membuka cabang di belakang Hero Gatot Subroto. Saat itu Yunus mengaku omsetnya mencapai Rp 16 juta per bulan. 

Sayangnya, saya harus meninggalkan kos di Mampang dan berpisah dengan ayam penyet nikmat racikan Yunus pada tahun 2009. Beberapa bulan kemudian saya berkunjung ke Mampang, Yunus sudah membuka cabang kecil lagi di perempatan Mampang Prapatan, seberang 7/11 yang ke arah Bangka. 

Tahun 2010 saya kembali lagi ingin makan ayam penyet buatan Yunus dengan sambal yang menggigit lidah dan membuat keringat bercucuran karena pedasnya yang luar biasa nikmat. Sayangnya, saya tidak menemukan Ayam Penyet Pandanayu lagi di sana. Saya pikir, Yunus pulang kampung.

Hingga suatu saat, akhir Juni 2011, seorang teman mengajak saya makan di Jalan Margonda, Depok. Saya melintasi sebuah tempat makan besar berwarna hijau. Seorang laki-laki membagikan flyers warna hijau bertuliskan Pandanayu.
Saya terkejut dan langsung melihat ke bagian atas tempat makan untuk melihat papan nama Pandanayu terpampang besar.

"Mas, ini yang punya Mas Yunus yang di Mampang ya?," tanya saya berapi-api pada laki-laki tersebut.
"Iya, mbak," jawabnya. 
"Mas Yunusnya ada?"
"Ada mbak, sebentar."

Yunus pun keluar dari tempat makannya dan langsung menjabat tangan saya, layaknya teman lama bertemu. Saya terkagum-kagum melihat perjuangan seorang Yunus yang saya saksikan dari nol menjadi sebesar sekarang. Warung kecil disulapnya menjadi tempat makan yang sangat luas di seberang pintu masuk Universitas Gunadarma. 
Kami pun bertukar cerita tentang bagaimana bisa membuka warung sebesar ini. Ternyata, Yunus tidak hanya membuka warung di Jalan Margonda No.16, Depok tetapi juga di Lenteng Agung, dan Pancoran. 

Kesuksan Yunus adalah berkat ide barunya dalam meracik sambal ayam penyetnya yang khas. Kini, mimpi Yunus terwujud. Bukan hanya ayam penyet yang dijualnya, tetapi sudah divariasikan dengan berbagai menu lain seperti Mie Ayam, dan lain sebagainya.



Ayam Penyet Pandanayu sangat patut untuk dicoba. No telpon yang tertera di flyers 02144492345.










Jumat, 15 Juli 2011

Vihara Dharma Bhakti: Rumah Dewi Kuan Im

Banyaknya pengemis yang mengulurkan tangannya di pelataran, tidak lantas membuat Vihara Dharma Bhakti kehilangan keindahannya. Vihara yang didominasi warna merah beraksen kuning ini, membuka mata kami untuk menelusuri bangunannya hingga ke dalam. 


Bau asap dan wangi dupa menyambut kedatangan kami di Vihara Dharma Bhakti, salah satu kelenteng tertua di Jakarta. Vihara yang mempunyai nama lain yakni Kim Tek Ie atau Jin De Yuan ramai dikunjungi warga Tionghoa karena merupakan rumah Dewi Kuan Im. Kim Tek Ie dibangun pada tahun 1650, terletak di Petak Sembilan, dekat Glodok, Jakarta Barat. Kelenteng ini pernah hancur sebagian saat pembantaian warga Tionghoa pada tahun 1740 dan diperbaiki tahun 1890.

Seorang kakek etnis Tionghoa menegur kami dan mempersilahkan kami untuk masuk ke Vihara. "Silahkan. Lu masuk aja nggak papa. Di sini, mau agama Budha, Konghucu, Kristen, atau Islam diterima. Boleh masuk semua," ujarnya saat melihat kami sedikit  ragu karena salah seorang dari kami mengenakan jilbab.

Dengan ramah, kakek tersebut mengantar kami hingga ke pintu Vihara. Pandangan kami langsung tertuju pada meja sembahyang yang terdapat patung seorang dewa. "Bisa dibilang itu Dewa Anak-anak atau Dewa Ketawa," kata seorang laki-laki yang sedang bekerja merapihkan tumpukan kertas di samping kami. Lebih dari 10 menit kami terpaku memandangi meja sembahnyang tersebut, sambil memperhatikan cara orang-orang Tionghoa berdoa. Ada yang memegang Hio sambil membungkuk, ada yang mengelus-elus wajah dan perut patung dewa, ada pula yang memberi makanan, bunga, hingga uang.



"Foto-foto aja. Nggak apa-apa. Nggak usah takut," ujar seorang laki-laki yang juga bekerja di sana. Ternyata kedatangan tamu bukan warga Tionghoa sudah biasa bagi mereka. Vihara yang menjadi cagar budaya di Jakarta ini sering dikunjungi wisatawan baik domestik, maupun wisatawan asing.

Salah seorang pengurus vihara, Herman, mengatakan bahwa jika ada wisatawan dari Cina datang ke Jakarta maka belum afdol jika belum menginjak Vihara Dharma Bakti. "Lambang kota Jakarta ya Vihara Dharma Bhakti," kata Herman waktu itu.


Vihara Dharma Bhakti cukup luas. Setelah memasuki kelentang utama yang di dalamnya terdapat beberapa patung dewa seperti Dewi Kuan Im, dan beberapa dewa lainnya, kami berjalan keluar dari pintu yang ada di sebelah kiri. Ternyata ada beberapa lagi meja sembahyang yang disebut kedudukan. Ada 15 kedudukan di sana, dengan dewa yang berbeda-beda.











Kunjungan ke Vihara Dharma Bhakti ini masih terasa kurang, karena kami belum dapat menggali sejarah budaya dan agama masyarakat Tionghoa di sini. Oleh karena itu kami berencana untuk kembali mengunjungi Vihara Dharma Bhakti pada waktu-waktu sembahyang tertentu seperti Cap Go yang bulan ini jatuh pada tanggal 15 Juli 2011.

Kamis, 14 Juli 2011

Barang Rongsokan Bernilai Ratusan Juta?

 Buah Manis Dari Sebuah Kegigihan



Di saat para pedagang sibuk menjual barang-barang barunya, dia tetap konsisten menjajakan barang rongsokan yang mungkin sudah tak berharga lagi. Tetapi bagi sejumlah orang, ada nilai tinggi di dalamnya.

Seorang lelaki separuh baya terlihat cukup sibuk memilah-milah barang rongsokan.Tidak lama berselang ia lalu berjalan menghampiri kami sambil melemparkan senyumnya dan berkata, “Dari wartawan mana ya?”. Mungkin ia sudah tidak asing lagi dengan orang-orang yang ingin bertanya kepadanya. Apalagi, jika pertanyaan yang ingin disampaikan terkait dengan usaha yang sedang digelutinya. Lelaki ini adalah Nur Cholish Agi, pemilik Mall Rongsok.
Apa itu Mall Rongsok? Jangan bayangkan tempatnya megah seperti mall sungguhan. Jenis bangunannya adalah semi permanen. Nama usaha Mall Rongsok juga hanya dicetak di atas kertas tebal berwarna merah dan ditempel di kaca jendela. Namun demikian dari Jalan Kukusan, Beiji, Depok, pengguna jalan sudah dapat melihat dengan jelas keberadaan sentra penjualan barang rongsokan ini.


Di Mall Rongsok, pengunjung bisa menemukan beraneka ragam barang bekas, mulai dari spare part kendaraan bermotor hingga bongkaran alat-alat elektronik seperti kabel, circuit board dan lain-lain yang diletakkan di bagian depan toko. Alat-alat rumah tangga dan kantor seperti lemari, meja, kursi, mesin cuci, serta dinding pembatas juga tersedia di bagian belakang Mall Rongsok.
Keunikan bisnis rongsokan ini adalah kejelian dari Sang pemilik, Nur Cholis Agi, atau yang biasa disapa Agi. “Emang punya ide kalo saya punya modal, mau buat mall rongsok. Saya sering main ke Poncol. Orang cuma jualan satu petak. Saya pikir kalau disatukan pemilik satu orang pasti hasilnya bagus,” terang Agi.
Agi memberanikan diri berjualan rongsokan berbekal hobi dan keahliannya mengutak-atik mesin. Ia tidak pernah menempuh pendidikan formal untuk mereparasi mesin dan barang elektronik. Semuanya dilakukan secara otodidak. “Apa aja saya bisa. Mulai dari menyervis handphone, TV, mobil, mengelas, hingga membuat mesin karbit sendiri,” terangnya.
Hobinya mengutak-atik mesin dan elektronik membuat Agi meninggalkan pekerjaan sebelumnya di perusahaan farmasi. Ia lalu membuka usaha servis handphone pada tahun 1995. Setelah itu berbagai usaha dibangunnya mulai dari bengkel mobil, bengkel motor, studio musik, hingga penjualan mobil-mobil antik. Sayang, resesi membuat usahanya bangkrut pada tahun 1998. “Kalau dibilang kaya pelm kartun. Udah jatuh nyusruk kita bangun lagi. Udah dari tahun 1993 saya jatuh, bagun lagi,” ujarnya bergurau dengan logat Betawi.

Agi memang pantang menyerah. Setelah usahanya habis, ia sering mendatangi berbagai tempat penjualan barang bekas. Mula-mula ia membeli 14 televisi bekas, dan mencoba untuk menyervisnya sendiri. Dengan modal Rp. 100.000,- Agi mulai berjualan barang rongsok sedikit demi sedikit di rumahnya pada tahun 2001. Empat tahun berlalu, usaha Agi semakin besar karena banyaknya peminat. Ia pun pindah menyewa tanah tidak jauh dari tempatnya tinggal yang lebih luas.
Pria ramah dan senang tertawa ini, sekarang sudah memiliki 2 cabang Mall Rongsok. Satu tidak jauh dari tempat pusatnya, satu lagi di daerah Krukut. Harga barang rongsok yang dijual juga bervariasi. Mulai Rp. 500,- sampai Rp. 6.000.000,-. Omset yang dihasilkannya pun bisa mencapai Rp 100.000.000,- per bulannya.
Pelanggan Mall Rongsok datang tidak hanya dari Depok, tetapi juga dari Jakarta dan sekitarnya. Salah satunya adalah Roni yang berdomisili di Pondok Cabe. “Jujur, saya baru tahu ada mall rongsok seperti di sini. Walaupun, saya sudah sering menaruh barang dari kantor ke sini buat dijual,” Roni menjelaskan. Ia adalah salah satu pelanggan yang mengirim barang-barang rongsok untuk dijual lagi di sini.
Ya, kini Agi tak perlu lagi repot-repot mencari barang rongsokan, karena telah banyak orang yang menawarkan langsung kepadanya. “Sekarang kebanyakan dari lelangan kantor. Kalo habis lelangan kantor barang penuh,” kata bapak 4 orang anak ini. Selain dari lelangan kantor, Mall Rongsok juga mendapatkan barang eceran dari tukang yang membawa gerobak ataupun dari perumahan di sekitarnya.
Kelengkapan jenis barang yang dijual di Mall Rongsok, juga menjadi salah satu alasan pelanggan sering berkunjung ke sini. “Mau cari barang apa aja ada. Ibaratnya kayak toserba-lah,” jelas Irfan, yang mengaku sudah beberapa kali berbelanja di sini.

Walaupun usaha yang dikelolanya kini terbilang sukses, Agi juga harus menghadapi resiko besar dari usahanya. Menurutnya, usaha rongsokan ini rentan dituduh sebagai penadah. Belajar dari pengalaman, Agi yang hanya lulusan SMA tidak sembarangan menerima barang. “Kalo barang bagus tanya dari mana. Kadang langsung saya tembak, ‘Nyolong dari mana?’ Kalau raut mukanya beda berarti dia nyolong,” terangnya.
Melihat perkembangan usahanya yang pesat, Agi bermimpi suatu saat nanti akan ada investor yang mau membuka mall sesungguhnya, namun diisi barang rongsokan. “Kalau bisa nanti ada investor saya pengen bikin kaya mall bener lah. Settingnya mall beneran tetapi isinya barang rongsokan semua.”
Kegigihan, kreativitas, dan keberanian untuk mengalami kegagalan berbuah manis bagi Agi. Barang rongsok yang tidak berharga mampu disulap menjadi omset ratusan juta. Dengan usaha Mall Rongsok yang telah maju, Agi mampu menikmati hidupnya. “Yang paling enak sekarang saya bisa nyantai. Kalau dulu muter sana sini, sekarang duduk manis terus dapet duit. Kan gitu,” ujarnya sambil tertawa.

(oleh Retno Lestari, Cauzsa C. P, RR Adrina N.S).

Kamis, 30 Juni 2011

You are what you tweet?

"Kalau di Twitter, yg statusnya jujur itu yg 'galau'. Lainnya pencitraan."

Begitu bunyi salah satu tweet dari mbak Uni Lubis, yang meneruskan BBM dari temannya. Begitu melihat tweet ini di Twitter, saya jadi berpikir. "Ahaaa!! Benar juga!" Twitter sebuah social media berbentuk micro blogging jika diamati memang hanya untuk dua tujuan ini.

Di Twitter, jika seseorang tidak menceritakan masalah pribadinya, maka dia akan membuat komentar tentang suatu hal atau menulis sesuatu untuk mencitrakan dirinya. Entah itu ingin dianggap lucu, pintar, "gila", "agamis," bijak, bahkan paling tahu tentang suatu topik.

Melalui Twitter, para penggunanya bisa membentuk sebuah karakter, yang mungkin berbeda dengan karakter aslinya. Inilah gejala penggunaan media baru yang memang sudah lama menjadi kajian ilmu pengetahuan, khususnya komunikasi.

Sebuah akun Twitter mungkin terkesan hebat mengenai dunia politik. Komentar-komentar yang dilontarkan lewat tweet, bahkan mungkin tidak kita pahami, jika kita tidak mengikuti perkembangan berita politik terkini. Artinya, orang ini ingin menyampaikan kepada para pengikutnya bahwa ia memang suka dunia politik, seseorang dengan pengetahuan yang luas, pandai, dan lain sebagainya.

Ada akun Twitter seorang wanita. Ketika membaca tweetnya, jemari rasanya gatal ingin membuat komentar. Tweetnya yang lucu, "gila," out of the box, membuat jumlah pengikutnya menjadi puluhan ribu. Dari tweetnya kita mungkin bisa berasumsi bahwa ia wanita yang menyenangkan, easy going, "gokil," sekaligus pintar.

Namun, apakah demikian karakter mereka sebenarnya? Kita tidak pernah tahu kecuali dirinya dan orang-orang terdekatnya. Sangat menarik melihat bagaimana orang-orang "membungkus" dirinya lewat sebuah akun Twitter.

Ada rasa penasaran untuk mengetahui bagaimana tweet, bisa menggambarkan kepribadian seseorang. Apakah ada perbedaan antara kepribadian sesungguhnya dengan kepribadian di dunia maya? Apa yang ingin ditonjolkan? Apa yang mereka sembunyikan? Apa latar belakang yang mempengaruhi bagaimana mereka mengungkapkan dirinya melalui tweet di Twitter?

Kata orang, "You are what you tweet." Apakah benar? Jangan-jangan justru "You are not what you tweet."

Tujuh belas tahun lalu...

“Semua akan baik-baik saja,” ujarnya berusaha lembut, meski suaranya berat. Di telingaku ucapannya mirip nyayian merdu yang membangkitkan ketenangan. Sepasang mata tajamnya bagaikan elang, memandangku teramat dalam. Mata itu menopang alis hitam lebat. Kontras dengan rambutnya yang mulai memutih dimakan usia. Kerutan di kulit wajahnya, tak mengurangi ketegasan rahangnya. Rahang kotak dengan tulang pipi tinggi membuatnya nampak tampan bersahaja. Sangat khas pria Sumatera.

Ia membelai kepalaku perlahan. Jari-jarinya besar namun mampu masuk ke sela-sela rambutku. Tangan itu kemudian tiba-tiba berhenti dan memegang kepalaku. Seolah- kepalaku terbenam di kedua telapak tangannya. Begitu hangat. 

Lalu, kedua lengannya yang besar menarikku ke dalam pelukannya. Aku merasa kecil di sampingnya. Tinggiku tidak lebih dari dadanya. Tapi posisi itu tepat untuk mendengarkan suara kehidupan. Aku memejamkan mata. Menikmati setiap degub jantungnya. 

Kepalaku ikut bergerak waktu ia menarik dan melepaskan nafasnya. Aku julurkan lenganku. Mesipun aku tahu tak akan mampu melingkar di badannya yang besar. Tubuhku bersatu dengan tubuhnya. Aku bisa merasakan kulit yang membungkus lemak badannya mulai mengendur. Terasa empuk. Tapi aku suka. Suka sekali. 

Aromanya membius. Wangi sabun bercampur rokok laksana candu yang selalu membuatku rindu untuk menghirupnya. Aku merasa bahagia. Seolah di dunia ini hanya ada aku dengannya. Dunia ini milik kami berdua. Aku merasakan cinta. 

Namun rasa itu hanya sejenak. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Jantungku seolah ingin melompat. Sakit. Sangat sakit. Aku seperti berada di ruangan gelap tiada batas. Sendiri. 

Air mataku mulai mengalir ketika sadar aku hanya bermimpi. Aku hanya berkhayal. Aku teringat ruangan itu bagaikan saat dikandungan ibu. Tak ada belaiannya. Tak ada pelukannya.

Ya, lagi-lagi aku sendiri. Rasa dulu dan kini tetap sama. Gelap. Sendiri. Hampa. Tujuh belas tahun lalu dia pergi, dan tidak pernah kembali. 

“Ayah, mengapa?”

Kamis, 23 Juni 2011

Posisi Tawar Calon Pekerja

Lulus! Satu kata ini yang menjadi harapan para mahasiswa. Bekerja! Adalah kata yang menjadi harapan berikutnya.

Pekerjaan adalah jalan satu-satunya bagi manusia untuk hidup di dunia. Dengan bekerja, maka manusia mendapatkan alat pertukaran bernama uang untuk bisa membeli barang-barang dan jasa untuk kehidupan.

Namun mendapatkan pekerjaan bukanlah perkara mudah. Kebutuhan akan pekerjaan bagi para mahasiswa yang baru lulus, dijadikan sebagai senjata perusahaan untuk melakukan seleksi dengan berbagai cara. Tidak jarang, para calon pekerja harus rela menerima yang tidak seharusnya.

 Para calon pekerja memang tidak mempunyai kekuatan dibandingkan perusahaan yang merekrut para pekerja. Perusahaan mempunyai posisi tawar yang sangat tinggi, karena lowongan kerja tidak berbanding lurus dengan jumlah angkatan kerja. Akibatnya, biaya tenaga kerja menjadi murah. Banyak calon pekerja yang berpotensi, membanting harganya asalkan bisa bekerja.

Calon pekerja berpotensi ini mempunyai kemampuan yang luar biasa. Mereka mampu menyelesaikan berbagai tes yang diselenggarakan perusahaan. Seringkali, tes yang dilakukan sudah harus menguras tenaga dan pikiran. Bahkan, tanpa punya jaminan akan direkrut, para calon tenaga kerja telah diharuskan untuk memberikan karya intelektualnya.

"Kami ingin bukti dari Anda, jadi kami memberi pekerjaan rumah. Berikan konsep untuk mengembangkan program yang sedang kami lakukan," ujar salah satu perekrut.

Tes ini sudah mengharuskan para calon pekerja untuk memberikan idenya, tanpa ada ikatan kontrak kerja dan kepastian akan dipekerjakan. Banyak calon pekerja memenuhi permintaan ini. Jika lolos mereka akan direkrut. Jika tidak, ya, harus mencari pekerjaan lain.

Akan tetapi, apakah ada jaminan bahwa ide mereka tidak akan digunakan oleh perusahaan yang bersangkutan? Apakah ada jaminan jika mereka mempunyai ide yang cemerlang, kemudian akan ditawarkan kontrak kerja yang sepadan? Lalu bagaimana jika calon pekerja menolak? Akankah ide miliknya tidak akan diklaim menjadi ide perusahaan?

Situasi dilema harus dihadapi para calon pekerja. Bak buah simalakama, para calon pekerja akan sulit menentukan pilihan. Karya intelektual, pada dasarnya adalah karya yang sangat berharga. Dengan karya tersebut, seseorang mungkin bisa membangun perusahaannya sendiri.

Pertanyaanya, seberapa pahamkah calon pekerja terhadap kemampuannya? Seberapa pahamkah calon pekerja terhadap haknya? Seberapa pahamkah seseorang pekerja akan posisi tawarnya?

Suatu hari, ada seorang pejabat di sebuah perusahaan, marah besar pada calon pekerja yang masih dalam proses perekrutan, karena menolak memberikan karya intelektualnya. Calon pekerja ini merasa bahwa dirinya tidak mempunyai jaminan pasti dirinya akan direkrut, padahal sudah harus melaksanakan pekerjaan rumahnya yang diberikan perusahaan. Ia kemudian mundur dari perekrutan dengan menjelaskan bahwa dirinya tidak ingin memberikan karya intelektualnya sebelum mempunyai ikatan kerja, meskipun pekerjaan rumah ini dikatakan sebagai bukti kemampuannya.

Pejabat ini tidak bisa menerima, karena dirinya telah menghubungi pihak lain, yang telah siap mendengar presentasi karya intelektual si calon pekerja. Dia mengatakan tidak bisa menerima ketidakprofesionalan calon pekerja, yang tidak memenuhi janjinya.

Mengapa ia harus marah? Toh, perusahaan belum mengikat si calon pekerja dengan payung hukum. Artinya, baik calon pekerja maupun perusahaan, sama-sama tidak mempunyai jaminan satu sama lain. Inilah kekuatan yang harus dimiliki oleh calon pekerja. Calon pekerja punya posisi tawar ketika dia mengetahui benar kemampuannya. Namun, calon pekerja harus berani menerima resiko untuk menunda mendapat pekerjaan. Siapa yang tahu, dari pengalaman ini si pekerja bisa mendapatkan inspirasi untuk membangun bisnisnya sendiri.


-untuk para calon pekerja di luar sana-

Kamis, 09 Desember 2010

AFF Cup Indonesia vs Thailand

I've been as football lover since junior high school. This hobby brought me to the most fun job as sport journalist for almost 5 years. But, when passion become routines, everything is upside down. I didn't enjoy it anymore.

Now, after I quit, I get the passion slowly comeback.  And then, I watch AFF game between Indonesia vs Thailand at Gelora Bung Karno Stadium. It was awesome. I like it just to be lover.

They played good. They are young, and still have spirit to play for their country. The way the play was very different from what I saw before. The euphoria reminds me with the Asian Cup at 2007. There were a lot of 'new' supporter that never watched football game in the stadium before.

I hope this not just an euphoria. I hope the support from Indonesian people will remain every time Indonesian national football team performs. And I hope that Indonesian national football team will play better and better in the future.


Minggu, 05 Desember 2010

Obat Luka: Tanaman Yodium

Waktu saya kecil, saya sering sekali terjatuh dan terlukan. Hahaha...Ya, saya memang nakal waktu kecil. Ketika saya terluka, eyang putri memberi saya obat dari alam yang disebut daun Yodium. Sudah puluhan tahun saya tidak melihat tanaman ini, hingga Lebaran yang lalu, saya menemukannya di halaman depan rumah sepupu saya di Magelang.

Bagaimana tanaman ini bisa mengobati luka? Tentu dari getahnya. Kita bisa mengambil batang daunnya lalu megoleskannya pada tempat yang terluka. Gunakan secepat mungkin, agar getah tidak menetes. Saat luka terkena getah Yodium, maka akan terasa perih. Namun setelah beberapa saat, sakit itu akan hilang dan luka tertutup. Dalam dua hari luka di tubuh kita akan mengering. Gunakan getah ini beberapa kali dalam sehari maka luka akan sembuh dalam waktu yang tidak kita sadar.

Saya sangat percaya khasiat obat tradisional seperti daun Yodium ini.






Rabu, 01 Desember 2010

NO COMPLAIN ON STATUS!

Setiap hari kita dan jutaan orang lainnya pengguna jejaring sosial, berkeluh kesah dalam status alias complain.

Compalin di status yang dapat dilihat banyak orang, tidak saja merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain. Complain, tidak akan menimbulkan dampak positif apapun apabila hanya ditulis untuk tujuan supaya orang mengetahui permasalahan kita. Complain seharusnya ditindaklanjuti dengan melakukan sesuatu. Tetapi, seberapa banyakkah orang yang bergerak dan bertindak?

Tidak banyak!

Complain yang kita tulis di situs jejaring sosial akan dibaca banyak orang. Orang yang membacanya bisa ikut-ikutan complain sehingga membuat mereka ikut marah, atau justru membuat orang lain kesal karena kita selalu complaining.

Jadi mulai sekarang, say no to complaining on status. I'll start this campaign to myself.

To make a better world we have to start to say NO COMPLAIN ON STATUS!

Saya Orang Kaya

Saya, Aburizal Bakri, dan Gayus Tambunan punya persamaan. Kami adalah orang kaya.
Hidup ini memang tidak adil. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Bagi saya, adalah anugerah saya menjadi orang kaya. Sedangkan bagi orang miskin, ya itu deritanya. Meminjam kata-kata anak jaman sekarang, itu sih DL alias derita lo!

Saya senang menjadi orang kaya di negeri ini. Di negeri ini apapun bisa dibeli dengan uang. Dengan uang, hidup menjadi jauh lebih mudah. Mau beli mobil mewah bisa. Beli perhiasan berlimpah juga mampu. Ingin punya rumah mewah tentu tidak sulit. Kalau hanya urusan pendidikan di Indonesia, itu sih kecil! Pendidikan di Indonesia kan hanya milik orang-orang tertentu, termasuk saya pastinya.

Untuk saya yang orang kaya, tentu saja ingin kuliah di perguruan tinggi terkemuka. Mau perguruan tinggi swasta atau negeri sebenarnya tidak masalah untuk saya. Tetapi kalau saya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri terkemuka, saya punya gengsi lebih. Sudah kaya, dipandang pintar lagi.

Soal tes masuk, itu tidak terlalu sulit. Saya bukan orang kaya yang bodoh. Apalagi saya menulis di berkas pendaftaran bahwa saya mampu membayar sumbangan pendidikan puluhan hingga ratusan juta. Pasti menguntungkan untuk pihak universitas. Saya otomatis jadi pertimbangan untuk pemasukan mereka.

Setelah masuk kuliah, tidak perlulah saya ngoyo untuk mendapat nilai yang terbaik. Saya hanya ingin menikmati hidup sebagai mahasiswa kaya. Yang penting, saya lulus kuliah tepat waktu dan tidak menjadi mahasiswa abadi. Meskipun untuk itu saya harus menempuh skripsi.

 Skripsi oh skripsi. Ini yang membuat saya pusing. Saya pasti malas mengeluarkan tenaga terlalu besar untuk membuat skripsi. Saya tidak berminat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan lewat skripsi. Apalagi, saya punya uang. Ya, uang saya banyak. Jadi saya memutuskan untuk mempermudah hidup saya. Saya bisa menghubungi lembaga yang menyebut dirinya sebagai lembaga konsultan dan bimbingan skripsi. Tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa melakukan bimbingan kalau dengan membayar Rp 1.5 juta hingga Rp 3.5 juta, saya bisa langsung terima jadi. Urusan menghadapi para penguji adalah urusan belakangan. Karena sekali lagi, meskipun kaya, saya tidak bodoh.

Pendidikan adalah bekal masa depan. Bagi saya, masa depan berarti citra saya di mata banyak orang yang bisa mempertahankan kekayaan saya. Oleh karena itu, saya berencana terus melanjutkan jenjang pendidikan S2 hingga S3.

Kalau saya lulus S1 saja dengan membayar, bagaimana nanti bisa masuk ke S2 dan S3? Itu sih gampang. Di UGM saja ada kursus untuk program doktoral. Di sana diadakan program pelatihan program doktor antar bidang.  Saya akan dibantu oleh para dosen di UGM untuk mempersiapkan proposal riset mulai dari penulisan, metodologi dan lain-lain sebagainya. Biayanya cukup murah bagi saya yang orang kaya. Hanya Rp 600 juta untuk 5 tahun. Pesertanya dikabarkan dari kalangan mentri, direktur-direktur perusahaan swasta, hingga direktur-direktur BUMN.

Tapi sayangnya program ini menjadi kontroversi. Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi menyatakan tidak tau-menahu tentang program ini dan telah membentuk panitia untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelenggara program Gunawan Sumodiningrat yang merupakan profesor dan doktor di bidang ekonomi dari UGM, serta dosen-dosen yang terkait. Ah, tapi ada pepatah yang mengatakan patah tumbuh hilang berganti. Tak apalah program ini tidak ada lagi di UGM. Toh, saya bisa mencarinya di universitas lain nanti. S1, S2, S3 hanya masalah uang. Namun uang tidak menjadi masalah untuk saya. Kan saya orang kaya.
Lihat bukan, begitu mudahnya mencari jalan pintas untuk menempuh pendidikan? Inilah hasil industrialisasi produk otonomi pendidikan. Tidak hanya biaya sekolah yang dinaikkan, tetapi terbukanya berbagai lapangan usaha yang berkaitan dengan pendidikan. Dengan asumsi tidak ada yang tidak mau mengenyam pendidikan, maka pendidikan adalah komodifikasi yang sangat menguntungkan.

Di saat pendidikan sudah menjadi bisnis, maka tidak ada lagi tempat untuk orang-orang miskin. Yang ada adalah orang-orang kaya seperti saya. Di saat pendidikan menjadi bisnis, maka lupakan bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia yang tertuang di dalam UUD 1945.   

Sebenarnya industrialisasi pendidikan seperti ini bisa dihindari apabila subsidi pendidikan diperbesar atau justru pendidikan di Indonesia digratiskan. Rasanya mustahil memang. Tetapi hal ini dapat direalisasikan apabila pembayaran pajak dijalankan dengan benar. Sayangnya di negara kita hanya 3 persen yang membayar pajak. Pajak yang hanya sebesar itu saja tetap disunat oleh orang seperti Gayus Tambunan. Sedangkan para pengusaha besar, contohnya Aburizal Bakrie, ngemplang pajak sebesar Rp 2.1 triliun. Bisa dibayangkan berapa besar alokasi pajak untuk subsidi pendidikan jika para pengusaha macam Bakrie memenuhi kewajibannya dan orang-orang seperti Gayus dienyahkan?

Tetapi siapa yang peduli. Saya? Gayus? Bakrie? Kami adalah orang kaya yang bisa melakukan apa saja dengan uang yang kami miliki. Untuk apa memikirkan orang lain jika saya bisa membayar bisnis pendidikan, Aburizal Bakri bisa menghindari pajak, serta Gayus Tambunan bisa seenaknya keluar masuk penjara. Atau Pemerintah? Pemerintah sepertinya sudah senang karena tidak perlu pusing mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mengurusi pendanaan institusi pendidikan.

Jadi tidak ada lagi yang peduli. Pendidikan sebagai alat untuk mengentaskan kemiskinan telah menjadi lahan bisnis yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya. Oleh karenanya, orang kaya semakin kaya. Orang miskin ya akan semakin miskin.

Pada akhirnya negara Indonesia memang negara surga bagi orang kaya seperti saya, sekaligus neraka bagi orang miskin yakni sebagian besar rakyat Indonesia. Saya jadi ingin menyanyikan sedikit lirik lagu wajib nasional, “Itulah Indonesia, Indonesia tanah airku...”

 
Template designed using TrixTG